BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Filsafat Cina sebagai suatu bagian dari
tiga Filsafat yang berpengaruh di dunia selain Filsafat Barat dan Filsafat
India, merupakan suatu Filsafat tersendiri dengan berbagai metode, corak,
kecenderungan dan berbagai kekhususan yang dimilikinya, bahkan dengan berbagai
kekurangan dan kelebihannya yang sangat nisbi.
Akan tetapi terlepas dari semua itu,
Filsafat Cina merupakan suatu Filsafat yang tidak bisa di pandang sebelah mata,
karena pada perkembangan dunia timur seperti Cina dan negara-negara yang terletak
tidak jauh darinya, seperti Jepang, Hongkong, Korea dan negara timur lain pada
masa kini, mempunyai corak, ciri khas dan juga bahkan mulai berpengaruh
terhadap bangsa lain, yang pada perkembangan sejarahnya tidak dapat terlepas
dari perkembangan budaya maupun keilmuan dan kefilsafatan pada masa dahulu.
Cina saat ini merupakan suatu kekuatan
yang dipertimbangkan di dunia pada umumnya. Dalam berbagai aspek kehidupan
mulai pendidikan, teknologi, ekonomi, kekuatan militer sampai pada life style,
Cina memiliki ciri dan tren tersendiri yang tidak secara serta merta mengadopsi
dari Barat seutuhnya, akan tetapi Cina dengan segala yang dimiliki mempunyai
kelebihan yang patut kita ambil sisi positifnya.
1.2
Rumusan
Masalah
1.2.1
Bagaimana
pembagian periodisasi perkembangan filsafat di Cina?
1.2.2
Bagaimana
jenis aliran filsafat yang berkembang di Cina?
1.2.3
Bagaimana ciri-ciri
Filsafat Cina?
1.3 Tujuan
1.3.1
Menjelaskan pembagian periodisasi perkembangan filsafat di Cina
1.3.2
Menjelaskan jenis aliran filsafat yang berkembang di Cina
1.3.3
Menjelaskan ciri-ciri
Filsafat Cina
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Zaman
Klasik (600 - 200 SM)
Zaman
Ch’unn Chiu & Chan Kuno dikenal sebagai zaman klasik (classic age period) dari sejarah kebudayaan Cina. Kekacauan politik
pada zaman Dinasti Chou itu memperlihatkan perkembangan-perkembangan dari di
lapangan kebudayaan & masyarakat. Seiring dengan semakin berkurangnya
jumlah negara, berkurang pula batas-batas penghalang hubungan antar penduduk.
Juga seiring dengan semakin berkurangnya sifat-sifat kedaerahan, anggapan tentang
paham & keyakinan baru pun mudah tersebar.
Masyarakat
Dinasti Chou mulai mengenal empat golongan dalam masyarakat: golongan
terpelajar (Shih); petani (Nung); pertukangan (Kung); & saudagar atau pedagang (Sang). Dalam lapisan & struktur masayarakat yang paling rendah
dimasukkan para pelayan & tentara. Kaum bangsawan pada saat itu banyak yang
kehilangan tanah karena dirampas setelah kalah dalam peperangan. Banyak para
bangsawan yang akhirnya menjadi pengembara & petualang. Ada pua kaum terpelajar
yang memberikan pengajaran di istana atau di masyarakat biasa. Kedudukan kaum
bangsawan dalam masyarakat mulai diganti oleh kaum terpelajar, para pujangga,
ahli-ahli filsafat, & para negarawan.
Bagian
terakhir perkembangan zaman Dinasti Chou adalah disebut-sebut sebagai zaman
klasik bagi perkembangan kesusteraan Cina. Pergloakan sosial & politik
menimbulkan banyak masalah untuk segera dipecahkan. Keadaan Chaos itu menjadi
pendorong & motivasi bagi para pemikir (filosof) untuk mengerahkan
pemikirannya guna menemukan cara mengatasi krisis moral & politik yang
timbul pada zaman itu. Lalu lahirlah beberapa aliran pemikiran atau filsafat
bersamaan dengan perkembangan kesusteraan. Bukti nyata mengulas mengenai
persoalan filsafat, sejarah, adat-istiadat, & sistem pemerintahan (teori
kekuasaan). Ada sebuah kumpulan tulisan yang menjadi buku suci (The Holy Book) yang merupakan buku
pegangan dalam menata hidup & pemerintahan. Saah satu yang dinilai sangat
penting dari hasil sastra Cina pada zaman Dinasti Chou akhir adalah dua buku
klasik yang disebut Wu Ching (Lima
Buku Klasik) & Sze Shu (Empat
Kitab). Kedua buku tersebut - berikut buku tafsirannya – sejak zaman Dinasti
Han sampai permulaan abad dua puluh merupakan buku tuntunan bagi kaum literati
birokrat.
Wu
Ching
(lima buku klasik) terdiri dari:
1.
Shu Ching (Kitab
Sejarah – The Book of History)
2.
Shih Ching (Kitab Syair
– The Book of Song)
3.
I Ching (Kitab Perubahan
– The Book of Changes)
4.
Li Chi (Kitab Adat atau
Upacara – The Book of Rites)
5.
Ch’unn Ch’iu (Kitab
Catatan Musim Semi & Rontok – The
Annals of Spring & Autumn).
Sze Shu (Empat Kitab)
terdiri dari:
1.
Lun Yu (The Annalects atau Kumpulan Percakapan
Confucius) – yang terdiri dari 20 fasal – mengandung pikiran-pikiran Confucius
tentang hal-hal atau buah pikiran Confucius.
2.
Meng Tze Shu (The Mencius). Buku Meng Tze ini terdiri
dari tujuh buah buku yang menuturkan pendapat & tingkah laku dari Meng Tze,
murid Confucius.
3.
Ha Hsueh (The Great Learning, Ajaran Besar) yang
menjadi fasal tiga puluh sembilan dari buku adat (Li Chi). Buku ini membicarakan secara ringkas tentang kesusialaan
& politik muridnya yang termasyhur yang bernama Tsang Tsan.
4.
Chung Yung (Doktrin of the Mean, Ajaran tentang
Makna yang Tepat) yang menjadi kesusasteraan Cina. Buku ini ditulis oleh Kung
Chi, seorang cucu Confucius.
2.2 Seratus Aliran Filsafat
Perkembangan
di lapangan kebudayaan dalam zaman Dinasti Chou terakhir, selain ditandai oleh
semakin tumbuh suburnya kebudayaan klasik, juga semakin tumbuh suburnya
berbagai aliran filsafat yang berpengaruh besar terhadap pertumbuhan kebudayaan
Cina selanjutnya. Karena banyaknya aliran filsafat yang tumbuh & tersebar pada
bagian akhir zaman Dinasti Chou itu, muncullah satu istilah yang biasa disebut
“seratus aliran ajaran filsafat”. Padahal, jumlah aliran & ajaran filsafat
yang sebenarnya kurang dari seratus (kata “seratus” diartikan sebagai banyak).
Confusianisme
Diantara filsuf yang
masa hidupnya banyak mengalami kekecewaan & kurang mendapat penghargaan
ialah Confucius. Menurut kisah & dongeng tentang orang suci (holy man), Confucius berasal dari
keturunan golongan bangsawan yang tidak mampu. Ada yang menduga bahwa ia
berasal dari golongan bangsawan Dinasti Shang. Nama sebenarnya adalah Kung
Chung-ni yang kemudian diberi julukan Kung
Tzu (Pujangga Kung) atau disebut pula Fu
Tzu (Pujangga Besar). Gelar-gelar tersebut membuat namanya lebih dikenal
dengan sebutan Kung Fu Tze atau Confucius. Ia dilahirkan di negara Lu yang
sekarang bernama Chu Fu (di wilayah Shantung). Menurut cerita tradisi ia hidup
& tinggal menetap selama beberapa tahun di negara itu. Pada kira-kira tahun
500 SM, ia berhasil menggagalkan komplotan negara Chi’i untuk menangkap kepala
negara Lu. Karena jasanya itu, ia diberi jabatan sangat prestisius oleh kaisar.
Setelah itu, ia berusaha mengakhiri kekuasaan bangsawan-bangsawan di
daerah-daerah & memusatkan kekuasaannya di tangan kepala negara. Tindakannya
mendapat tantangan & perlawanan dari para bangsawan. Akibatnya, ia
mengalami banyak kegagalan dalam melaksanakan misinya. Akhirnya, ia
meninggalkan negara Lu & mengembara ke beberapa negara tetangga. Beberapa
bangsawan muda yang masih ada hubungan keluarga & setia turut menyertainya.
Karena perubahan politik di negara Lu yang semakin gencar & berpihak kepada
pemikiran-pemikirannya, akhirnya, ia kembali lagi ke negara Lu.
Setelah berada kembali
di negara Lu, ia mendidik beberapa orang muridnya menjadi Ch’un Tzu, yaitu bangsawan sejati dalam arti yang sebenarnya.
Mereka bukan bangsawan karena status keturunan & darah ningrat, melainkan
karena kebangsawanan hatinya. Ajarannya ditujukan kepada bentuk praktek hidup
bangsawan tentang cara-cara yang tepat dalam memenuhi & menaati
kaidah-kaidah kesusilaan yang berlaku. Confucius mempertahankan asas-asas
masyarakat feodal yang mendasarkan ajarannya pada kesetiaan & ketaatan. Kesetiaan
& ketaatan harus dilakukan anak terhadap orangtua & keluarga, pegawai
terhadap kepala negara, termasuk juga kepala negara kepada raja.
Menurut cerita tradisi,
Confucius menyusun kitab Shu Ching, Shih,
& Chun Chiu. Disebutkan pula bahwa ia menulis ulasan-ulasan &
interpretasi mengenai I Ching. Namun,
adanya pendapat & anggapan bahwa ia mengetahui keberadaan & muatan
kitab tersebut sangat diragukan. Kitab yang sebenarnya merupakan buah pikiran
Confucius adalah Lun Yu (Percakapan
Confucius dengan Para Muridnya) yang terdiri dari dua puluh pasal. Kitab
tersebut baru disusun sekitar 400 SM. Di dalam kitab tersebut dimasukkan
pengaruh-pengaruh yang berkembang sesudah Confucius.
Tujuan pemikiran
Confucius yang sesungguhnya & paling utama adalah konsepsi tentang langkah
pencapaian masyarakat yang ideal (ideal
community). Ajarannya merupakan bentuk reaksi terhadap keruntuhan moral
& krisis politik yang terjadi pada zamannya. Ia bercita-cita membangun
& mengembangkan masyarakat ideal sebagaimana impiannya. Sesungguhnya,
gagasan yang dilontarkan Confucius sudah ada sejak zaman permulaan Dinasti Chou
seperti konsepsi mengenai masyarakat & pemerintahan. Orang yang dianggap
& diyakini sebagai pendiri tradisi pemikiran Confucius adalah Chou Kung.
Dalam hal ini Confucius hanya melanjutkan & memelihara tradisi pemikiran
tersebut.
Ajaran yang disampaikan
oleh Confucius disebut Confucianisme. Rakyat & masyarakat Cina menyebutnya
sebagai Ju Chiau atau ajaran agama
bagi kaum terpelajar. Sebenarnya, Ju
Chiau bukanlah sebuah agama, melainkan hanya ajaran filsafat tentang moral
walaupun ada beberapa hal yang mengandung unsur-unsur keagamaan. Kerajaan-kerajaan
yang ada di Cina lama berbentuk negara patrimonial dengan raja (kaisar) sebagai
bapak patriarkhal. Raja juga sebagai pendeta tertinggi dalam kebaktian kepada Hou Tin Shang-ti (Shang-ti di langit
tertinggi). Ia disebut sebagai T’ien Tzu
(the son of heaven atau putra langit).
Konsepsi Conficianisme ketertiban hubungan sosial dibagi dalam lima hubungan
yang disebut Wu Lun:
1.
Hubungan antara raja
atau pemerintah & rakyat;
2.
Hubungan ayah & anak;
3.
Hubungan suami &
istri;
4.
Hubungan kakak &
adik;
5.
Hubungan kawan &
kawan.
Pemerintahan yang baik
dirumuskan oleh Confucius dalam ungkapan Chun-chun,
Chen-chen, Fu-fu, Tze-tze (bila raja menjadi raja, menteri menjadi menteri,
ayah menjadi ayah, & anak menjadi anak). Arti ungkapan tersebut adalah
bahwa setiap unsur dari sebuah negara yang bersangkutan harus menjalankan
kewajibannya dengan benar & penuh tanggung jawab. Ketertiban dalam
hubungan-hubungan itu dipelihara dalam ritus yang disebut Li. Li inilah yang mengatur & menata dengan sangat cermat
setiap perbuatan penting antara orang & orang lain menurut ketertiban
hierarki berdasarkan prinsip patriarkhal.
Upacara mempunyai
peranan yang sangat penting dalam Confucianisme di segala bidang, baik material
maupun spiritual. Untuk melakukan upacara dengan tepat & tertib konsepsi Li
harus dipahami dengan baik. Li itulah yang merupakan decorum atau kelakuan
lahiriah sopan santun yang peraturannya sangat ketat & keras. Dalam
hubungan anatarmanusia, tingkah laku atau perilaku atau sikap mental (attitude) sangat dikuasai oleh Li.
Lima prinsip dasar dari
ajaran Confucianisme terdiri dari Jen
(perikemanusiaan), I (kesetiaan &
kebaktian), Li (decorum atau peraturan untuk kelakuan baik atau adat tata cara), Shin (kecerdasan atau pengetahuan),
& Chih (kejujuran). Dalam sebuah
negara yang ideal, menurut Confucius, yang dicita-citakan oleh negara itu
adalah para pegawai pemerintah yang mempunyai budi luhur sangat bagus. Ia
bermental, bertingkah laku, & berbuat sebagai bangsawan sejati &
sebenarnya apabila kebangsawanannya bukan terbentuk karena keturunan darah,
melainkan karena kemuliaan budi pekerti. Mereka yang berperilaku seperti itu
disebut Ch’unn Tzu. Seorang Ch’unn Tzu harus berbakti & patuh
kepada orang tua. Ia haruslah orang yang bersikap setia, cinta kepada sesama
manusia, bertingkah laku patut & mahir dalam adat sopan santun. Ia juga
harus cerdas & berpengetahuan.
Confucius mempunyai
cita-cita sosial yang disebut Ta Tung
(persamaan luhur) – sebuah utopia tentang altruisme sedunia bahwa dunia yang
merupakan rumah tangga besar yang didalamnya orang-orang pandai & bijaksana
(cendekiawan) bekerja sama untuk merealisasikan kesejahteraan & kasih
sayang bagi segenap umat manusia. Sepeninggal Confucius, ajaran-ajarannya
dikembangkan & terus disosialisasikan oleh murid-muridnya yang setia. Salah
seorang muridnya yang terkemuka bernama Meng Tzu (Meng Ko). Menurut cerita
tradisi, Mencius hidup antara 372-228 SM. Ia juga berasal dari negara Lu,
seperti halnya Confucius. Ajaran Mencius tidak mengalami perkembangan apapun
sepanjang zaman Chung Kuo karean tidak berhasil mempengaruhi kalangan yang
berkuasa (elit kekuasaan) & banyak ajaran lain yang menjadi saingannya.
Pada masa Dinasti Ch’in
(221-207 SM) bencana paling besar dialami oleh Confusianisme karena adanya
larangan dari kaisar yang berkuasa. Sebaliknya, pada zaman Dinasti Han (206-220
SM) justru Confucianisme berkembang pesat & menjadi ideologi negara. Pada
zaman Dinasti Sung, Confucianisme mengalami pembaharuan-pembaharuan yang
dilakukan oleh para pemikir zaman itu seperti Chi Shi (1130-1220). Ia juga
berhasil meluncurkan ajaran barunya yang disebut Neo-Confucianisme atau
Confucianisme baru. Sejak zaman Dinasti Han, Confucianisme dijadikan agama
negara dalam bentuk pemujaan langit. Banyak bangunan suci yang didirikan &
disebut altar langit. Confucius dipuja-puja dalam kuil yang didirikan di setiap
distrik di seluruh kerajaan. Dua kali dalam setahun, para pembesar daerah harus
melakukan kebaktian di Kuil Confucius atas nama kaisar.
Taoisme
Taoisme ajaran filsafat terbesar, terkenal, dan
termahsyur setelah Confusianisme. Pendirinya adalah Lao Tzu (Laocius) yang artinya pujangga Lao atau pujangga tua (bukan
nama aslinya karena nama aslinya tidak di ketahui). Menurut para ahli
sejarah ajaran filsafat Lao Tzu baru timbul dan berkembang
pada bagian akhir abad ke-4 SM. Sebuah kitab yang menurut tradisi merupakan hasil buah
pikir Lao Tzu adalah Tao Te Ching (buku
klasik tentang Tao dan Te). Tetapi kitap tersebut baru tersusun sekitar abad
ke-3 SM. Isi kitab tersebut sangat ringkas dan ditulis dengan bahasa yang
sangat sederhana, bahkan kadang-kadang dalam bentuk sajak dan penuh dengan paradoks
yang sukar dipahami.
Intisari yang diajarkan Lao Tzu bertujuan untuk memelihara
harmoni antara kehidupan manusia dan hukum universal alam jagat raya (Law of Natural), yaitu Tao. Tujuan ini
sama dengan tujuan Confusius, teteapi cara mencapai tujuan tersebut sangat jauh
berbeda. Confusius berusaha keras mencapai tujuan itu dengan cara-cara ilmiah (sciantific manner), yaitu menyelidiki
keadaan masyarakat dan memperhatikan kelakuan manusia dalam penyelidikanyan, ia
menemukan lima hubungan antara manusia dan prinsip-prinsip sosial dalam rangka
membina ketertiban kehidupan masyarakat. Atas dasr itu, ia merumuskan
peraturan-peraturan atau kaidah – kaidah tata tertib kehidupan manusia. Ssebaliknya,
Lao Tzu mendekati tujuan perjuangannya seacara langsung melalui intuisi. Cara
yang kemudian ia gunakan adalah pengembangan kepekaan perasaan (sentivitas) dan
emosi.atas dasar prinsip perjuangan itu, confusius dapat dianggap sebangai
orang rasionalis sedangkan Lao Tzu dilukiskan sebangai seorang mistikus
Dengan jalan mistik (mistisisme), Lao Tzu Menarik langkah
penyatuan (unifikasi) Tao. Ajarannya yang memfokoskan pada spiritualitas ini
mendapatkan respon dan tempat di kalangan orang-orang merasa kecewa terhadap
kehidupan yang mereka jalani di masyarakat. Mereka merasa bosan dan jenuh
terhadap akses-akses kebendaan duniawi (materialistis-hedonis). Sebangai
reaksinya, mereka mencari kesunyian dan keheningan dengan cara mengasingkan
diri dan hidup sebagai seorang pertapa (meditasi). Para mistikus yang berhasil
mencapai penyatuan dengan Tao akan mersakan timbulnya kesadaran diri
(self-counsciousness) yang tidak mengenal kontradiksi-kontradiksi. Di kalangan
orang-orang yang demikian itu, Lao Tzu berhasil memunculkan kitabnya yang
terkemuka Tao Te Ching. Dengan kekuatan mistik, mereka mengadakan pernungan
tentang penyatuan diri dengan Tao. Sebangai kritalisasi dari renungan itu,
doktrin Wu Wei- artinya berbuat untuk segalanya tanpa perlu berbuat apa-apa pun
lahir. Agaknya, doktrin tersebut sangat paradoksal. Maksud yang sebenarnya dari
doktrin itu adalah bahwa segala sesuatu akan berjalan teratur sesuai dengan
kodrat dirinya asal tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan Tao.
Menurut anggapan Lao Tzu, apabila doktrin Wu Wei di
praktekkan dengan benar dan tepat dalam kekusaan dan pemerintahan, keadaan
ideal dalam kehidupan masyarakat akan tercipta. Setiap orang akan berbuat
dengan sifatnya sendiri yang sewajarnya. Tidak ada gunanya mengdakan
pengekangan melalui rumusan peraturan dan perundang-undangan yang di buat-buat.
Dalam Tao Te Ching, antara lain, dikatakan bahwa senakin banyak undang-undang
dan larangan yang di tetap kan akan semakin banyak pencuri yang berkeliaran.
Cara yangdi tempuh doktrin Wu Wei dalam pemerintahan oleh orang-orang yang
bijaksana adalah mencukupi sandang, papan, dan pangan rakyat, membuat mereka
sehat dan kuat, serta menciptakan suasanan hati mereka yang selalu merasa paus
dan tenang dan tenang sehingga tidak ada orang yang mempunyai keinginan jahat.
Confusianisme dan Taoisme harus dianggap sebangai ajaran
pertama yang memahami pengertian Tao yang diambil dari agama pada dinasti chou.
Agama pada saat itu bersifat astral, meskipaun memiliki interpretasi yang
berbeda-beda. Tao merupakan sesuatu kekuatan yang mengatur ketertiban dalam
kosmos. Menurut pandangan Confusius, Tao juga mengatur masyarakat yang
dengannya memberi dasar-dasar tentang kesusilaan kepada masyarakat. Dalm hal
ini, ada Tao yang bersemayang di langit dan ada pula yang berada di antara
manusia. Para penganut Confusianisme memusatkan perhatian kepada Li sebangai pewujudan Tao. Li dijadikan
perangkat aturan-aturan untuk menyusun mastarakat yang sifatnya konkret dan
duniawi. Confusius semata-mata hanya memusatkan pikirannya pada masyarakat yang
dilihatnya secara idialistis, yaitu masyarakat yang di proyeksikan pada masa
silam dalam keadaan yang ideal.
Anggapan Confusius dan Lao Tzu tentang Taoisme juga berbeda-beda. Tao
merupakan kekuatan pengatur dan pencipta yang bekerja menurut prinsip Yang dan
Yin. Semua benda, berikut perubahan-perubahan yang terus terjadi dan tidak akan
pernah habis, dihasilkan oleh saksi Yang dan Yin. Jadi, dapat dikatakan bahwa
Taoisme, menurut Canfusianisme, merupakan pandangan dunia yang pasti yang
berlawanan dengan pandangan dunia yang statis. Sesuatu yang tetap ada hanyalah
Tao, sedangkan sesuatu yang lain hanyalah khayalan karna selalu berubah-ubah.
Karna itu, satu-satunya yang daan manpat dilakukan manusia adalah menyerah
kepada Tao yang dengan sendirinya ia bergerak tanpa tujuan dan tanpa paksaan.
Tao adalah sebuah harmoni yang sempurna sehingga untuk dapat mengenal dan
menyesuaikan diri dengannya, seorang harus memilki Te lebih dulu. Ia berbeda dengan
anggapan-anggapan Confusinisme karna Te buka tuah yang turun dari Tao kepada
manusia, melainkan sesuatu yang dapat dimiliki oleh setiap orang yang berbuat
sesuia dengan kehendak Tao. Sikap yang sesuai dengan Tao adalah sikap Wu Wei,
cara berbuat dengan segala-galanya tanpa berbuat apa-apa.
Di dalam Confusianisme, perhatian
utama dipusatkan padahubngan antar manusia dan manusia lainnya dalam kehidupan
masyrakat damai.
Mohisme
Tidak lama setelah Confusius meninggal, lahirlah seorang
ahli pikir bernama Moti atau Mo Tzu. Ajarannya disebut Mohisme. Ia hidup
kira-kira 479-381 SM. Pemikir ulung ini berasal dari negara Lu. Segala aspek
yang berkenaann dengan kehidupannya tidak dapat diketahui dengan pasti. Keterangan
tentang ajarannya hanya di perolah dari bukunya yang terkenal berjudul Mo Tzu.
Di dalam ajarannya itu ia mempunyai pandangan yang sangat revolusioner, terutama
mengenai susunan masyarakat. Ia juga menentang perbedaan yang tajam dalam
kehidupan bermasyarakat seperti yang terdapat dalam susunan masyarakat feodal.
Atas dasar itu, dapat di katakan bahwa ajaran Mohisme yang revolusioner sangat
kontradiktif dengan ajaran Confucius
yang konservatif.
Ia berkeinginan untuk mengubah susunan masyarakat, menghapus
perbedaaan-perbedaan asasi antar golongan, dan mengganti prinsip-prinsip yang
fundumental. Sebaliknya ajaran Confusius justru mempertahankan masyarakat
feodal dan berusaha keras untuk menyelamatkannya. Ajaran Confusius berusaha
menyelamatkan format masyarakat feodal karna mereka menghawatirkan pengaruh
ajaran Mo Tzu pada masanya jauh lebih besar dari pada Confusius.
Mo Tzu juga mengajarkan prinsip-prinsip yang di ambil dari
konsep Yen dan Li. Ia juga memakai konsepsi ajaran Tao yang di maknakan
sebangai sifat kepribadian dari sang pencipta. Yen dan Lidi akui sebangai dasar
sebuah fomat masyarakat. Tetapi pemikirannya selngkah lebih maju. Persoalan
isu-isu perikemanusian dikupasnya menjadi jalinan cinta kasih umum di antara
sesama manusia dengan kupasan yang sangat baik. Di dalam kupasan itu, ia lebih
sering menyebut Sang Ti dari pada T’ien - mungkin yang dimaksud adalah Tuhan.
Ia mengajarkan bahwa Tuhan mencintai sesama manusia tanpa perbedaan. Semua
manusia sama dan harus saling menyayangi. Ajarannya mempunyai ciri dan sifat
sosialis yang sangat dalam. Ia juga menganut utilitarianisme, sebuah teori mengenai prinsip kegunaan. Ia mencela
keborosan dan sangat menentang peperangan untuk membela diri (defensif).
Mo Tzu mengajarkan kesederhanaan dan kesehajaan hidup seperti
para pertapa. Ia menegaskan tentang makna penting sikap disiplin yang sangat keras
dan hidup sederhana, hemet, cermat, serta patuh kepada pemimpin. Mohisme
menulak segala kesenangan ynag mewah (hedonistis).
Berbeda denga Confusianime, ajaran Mo Tzu mempunyai susunan ajaran yang sangat
logis-rasional, semacam ilmu logika. Dari zaman tersebarnya Mohisme berikut
prinsip-prinsip logikanya yang sedikit banyak di pengaruhi oleh permainan yang
berprinsip pada paradoks-paradoks ajaran Lao Tzu, pada bagian rerakhir abad
ke-4 SM dan pertengahan abad ke-3 SM berkembanglah ajaran Sophisme.
Sophisme
Mo Tzu (Mo Ti) telah memberikan sumbangan pemikiran filsafat
yang sofistik terhadap sejarah dan peradapan cina. Kontribusi pemikiran itu
berupa sistematika logika yang disusun dalam bentuk cara berdiskusi yang sangat
teratur. Pada kira-kira abad ke-4, tepatnya semasa munculnya Chuang Tzu,
berkembang pula cara diskusi yang sistematis dan bertaraf tinggi. Kelompok para
pemikir yang melakukan diskusi itu disebut kaum Sophis atau dialektrisian. Para
pengikut mereka sangat banyak dan tersebar luas, terutama di negara Chi dan
Wei. Cara mereka berfikir dan mensistematikannya sangat penting bagi
perkembangan pemikir filsafat Cina, dan juga sangat mempengaruhi para pemikir
yang hidup pada abad ke-3, antara lain, Meng Tzu dan Hsun Tzu.
Sayang ajaran-ajaran yang dikembangkan kaum Sophis sangat
sedikit yang dapat diketahui, ini terjadi karena munculnya kekacauan dan kerusuhan
yang luar biasa pada zaman Dinasti Chou. Agaknya keterbatasan mengkodifikasi
ajaran-ajaran kaum Sophis di alami oleh para penganut ajaran itu karena mereka
banyak mengalami kesulitan hidup. Puncaknya adalah setelah Confusianisme pada
zaman dinasti Han mencapai kemajuan, pemikiran Sophisme tidak terpelihara lagi
sesuatu yang sebenarnya sangat merugikan bagi perkembangan filsafat Cina.
Individualisme
Selain para pemikir dan cendekiawan yang terus berusaha
meneliti dan mencari jalan bagi upaya penyelamatan kehidupan masyarakat,
ternyata ada juga pemikir yang bersikap individualistik dan egoistis. Seorang
individualis yang sangat ekstrim, antara lain, Yang Chu. Ia hidup pada abad-4
SM. Ajaran-ajarannya hanya dapat diketahui dari pemberitaan lawan-lawannya. Ia
adalah pemikir yang pesimistis dan cendrung tertarik pada paham sinisme. Ia
sangat egoisentris, dan sama sekali tidak menghiraukan segala macam kegiatan
orang lain.
Egoisme menjadi dasar bagi ajaran kaum Individulis yang
diajarkan oleh pemikir sebangai puncak kebajikan atau kebajikan yang
terpenting. Konsepsi kaum Individulis tentang hubungan antar sesama yang
menyatakan bahwa seseorang harus mengutamakan kepentingan sendiri sangat
kontradiktif dengan kebanyakan pemikiran sebelumnya. Bila dipandang secara
kontektual, sikap seperti itu tidak mengherankan pada zaman yang sekarang
sedang di landa kekacauan, peperangan, dan tindak anarki. Sebanarnya, kalau
mereka menyadari, tindakan seperti itu hanya menimbulkan kesengsaraan dan
keputus asaan yang tidak henti. Ucapan kaum Individualis yang sangat mashur
adalah bahwa “ jika dunia ini dapat diselamatkan atau dihancurkan hanya dengan
pemengang sehelai rambut kepala atau dengan mengerakkan salah satu jari
tangannya, ia tidak akan melakukannya” ia tidak akan pernah pedulu apakah
sebuah masyarakat menjadi baik ataukan tidak, kacau ataupun hancur, hanya
kepentingn pribadilah yang harus diperhatikan.
Bagi mereka, kejahatan dan kebaikan, pahala dan dosa,
merupakan kata-kata kosong. Karena ajrannya yang sangat bertentangan dengan
para pemikir lain itulah hanya sedikit karangan yang ditinggalkannya.
Legalisme
Filsafat yang tergolong sangat penting dalam perkembangan
menuju terbentuknya negara kesatuan Cina adalah ajaran filsafat penganut paham
Fa Chia. Kaum Fa Chia lazim disebut kaum legalis, Fa artinya Undang-undang atau
hukum. Jadi, Fa Chia sama dengan legalitas atau ajaran menurut undang-undang,
sedangkan pahamnya disebut legalisme. Ajaran ini berkembang pada abad ke- 4 dan
3 SM. Sebenarnya, kaum legalis berpandangan sangat realistis kerena para
penganut kelompok ini terdiri dari para politikum praktis. Mereka juga penganut
ulitarianisme, tetapi telah meninggalkan tradisi-tradisi kolot tempo dulu yang
konservatif. Ajaran mereka lebih merupakan kontradiksi-kontradiksi kolot yang
konservatif. Ajaran mereka lebih merupakan kontrarevolusi karena mereka membela
para penguasa negara terhadap tuntutan-tuntutan yang semakin kuat bahwa pemerintah
harus berpihak pada kepentingan rakyat, bukan untuk menindas rakyatnya sendiri.
mereka menegaskan bahwa mereka akan mengadakan pembaharuan yang radikal dan
memproklamasikan doktrin baru untuk zaman baru (new age).
Kalau mau ditelusuri, sebenarnya, ajaran Fa Chia itu tidak
jelas pendirinya siapa. Ajaran terebut merupakan campuran dari berbagai aliran
pemikiran dengan cara mengambil pokok-pokok tertentu yang dianggap berguna dan
praktis. Menurut tradisi sejarah Cina, ajaran Fa Chia ini dikembangkan oleh Kuang
Chung salah seorang menteri dari negara Chi pada abad ke-7 SM. Pokok-pokok
ajaran Fa Chia di ambil dari Taoisme. Menurut konsepsi ajaran Fa Chia, cara
paling tepat untuk memerintah adalah menerapkan konsepsi Wu Wei. Tatapi, dalam
keadaan Chaos seperti itu, konsepsi Wu Wei tidak mungkin di laksanakan. Karena
itu, langkah pertama untuk melaksanakan konsepsi Wu Wei adalah pencarian
langkah pendaya-upayaan agar rakyat terbiasa melaksanakan sesuatu berdasarkan
tata tertib dan sikap disiplin. Langkah yang dimaksud 8 (delapan) metode, Yen,
I, musik, nama-nama, undang-undang, hukuman, ganjaran, dan Li.
Di dalam ajaran dan konsepsi legalisme juga terdapat
pengaruh-pengaruh yang tidak sedikit dari ajaran Confucianisme, Mohisme, dan
Sophisme. Atas dasar bukti demikian dapat dikatan bahwa tidak ada seorangpun
pendiri sebuah paham dan tidak ada satu ajaran pun yang betul-betul murni dan
terbebas dari ajaran lainnya, termasuk ajaran dan paham legalisme. Dalam
berbagai karangan para pemikir sebelumnya terbukti bahwa pemikir itu mengambil
objek (pokok) ajaran tertentu, khususnya tentang hukum tingkah laku manusia,
mensintesiskan dengan ajaran lain, dan mengambil konklusinya hukum bagi sistem
dan struktur pemerintahan yang praktis, lalu disusunlah undang-undang (legislasi).
Penyusunana undang-undang dan peraturan dalam rangka memlihara ketertiban dalam
kehidupan bernegara ketika rakyat sebuah negara berkecendrungan pada
pelanggaran hukum. Bagi kaum legalis, undang-undang merupakan alat untuk
menegakkan kekuasaan penguasa, bukan untuk melindungi kepentingan warga negara
sebangai mana paham demokrasi. Salah seorang legalis yang terkenal adalah Shang
Yang. Ia disebut juga dengan nama Wei Yang atau Kung Sun Yang, pandangannya
tentang politik totalitarisme, serta penggunaan cara-cara yang mengikuti
pendapat dan paham machiavilisme. Paham itu berkecendrungan menghalalkan semua
cara untuk mencapai dan mewujudkan tujuannya. Tindak kekerasan atau anarkisme
merupakan salah satu ciri dalam sistem pemerintahan menurut paham legalisme.cara
yang lazim dipakai dalam mengurus pemerintahan adalah Pa Tao. Shang Yang-yang
berasal dari negaara Wei dan mendapat jabatan dalam pemerintahan dinsti Chin
sebangai perdana mentri (361-86 SM) melakukan program reorganisasi. Berdasarkan
program itu, ia menyususun dinasti Chin menjadi sebuah negara militer (military
state) denag disiplin yang sangat keras dan ketat. Sistem pemerintahan
feodalisme yang selama ini di pertahankan segera dihapuskannya, dan di gantikan
oleh sistem sentralisasi negara yang dilakukan melalui organisasi birokkrasi
kepegawaian. Legalis yang termahsyur adalah Han, Fei Tzu dan Li Tzu. Kedua
tokoh legalis sejati–yang pernahmenjadi murit Hsuan Tzu- ini hidup pada abd
ke-3 SM. Hsuan Tzu beranggapan bahwa pada dasarnya bakat manusia adalah jahat
tetapi, Han Fei Tzu dan Li Tzu menulak teori yang di kemukakkan gurunya, dan
sebaliknya mereka mengatakan bahwa pribadi manusia dapat diluruskan dan di
sempurnakan dengan perdaban melalui aturan dan hukum yang keras. Mereka hanya
berpengang pada anggapan bahwa manusia pada dasrnya jahat dan akan sia-sia
memperbaiki masyarakat dengan propaganda doktrin yang idealistis. Han Fei Tzu
adalah seorang pemikir legalistis yang tangkas-cerdas. Ia berasal dari negara
Han dan masih memiliki hubungan keluarga dengan kepala negaranya.
Suatu ketika, Dinasti Chin membuat rencana utuk merampas
kekuasaan Dinasti Han. Saat itu, perdana mentri dinasti Han adalah Li Tzu. Han
Fei Tzu diutus ke wilayah Chin untuk membela keselamatan negaranya. Ketika
berdiskusi dengan bekas teman seperguruannya, Han Fei Tzu sangat terkesan
kepada raja Chin sehingga raja Chin merasa bimbang untuk menuruti nasihat Li
Tzu agar Han Fei Tzu dibunuh. Dalam kebimbangan itu, Raja Chin ahirnya
mengambil keputusan memnjarakan Han Fei Tzu saja. Di dalam penjara, Han Fei Tzu
justru bunuh diri setelah difitnah Li Tzu dan ditakut-takuti bahwa ia akan
disiksa oleh kaisar. Ia meninggal pada tahun 233 SM.
Dengan bantuan Li Tzu, Raja Chin berhasil mengadakan
unifikasi seluruh wilayah Cina pada tahun 221 SM. Kaisar pertama yang menguasai
seluruh wilayah Cina adalah Chin Shih Huang Ti (221-209). Pada masa dinasti
Chin itulah, semua ajaran filsafat dilarang untuk disebarluaskan ke pulblik,
kecuali legalisme yang kemudian menjadi idiologi negara. Kendatipun demikian,
prinsip-prinsip legalisme masih berpengaruh dalam tat cara pemerintahan dan
dipakai terus dalam konsepsi Confusianisme.
Dr. Hu Shih menulis bahwa Lao Tze, Kung Tze, dan Mo Tiadalah
orang-orang yang menjadi peletak dasar bagi ilmu filsafat Cina. Ia menemukan
Lao Tzesebangai pemberontak dalam keyakinan agama. Ia juga revolusioner radikal
dalam persoalan filsafat. Kung Tza disebut-sebut sebangai seorang humanis dan
agnostikus, sedangkan Mo Ti disebut-sebut sebangai seorang pemimpin agama yang
berusaha memperbaiki agama dan membersihkannya (purifikasi).
2.3 Zaman Neo-Taoisme dan Buddhisme (200 SM - 1000 M)
Pada
abad 3 SM hingga tahun 1000 Masehi, Cina disusupi oleh unsur-unsur kebudayaan
asing. Buddhisme dari India, setelah bercampur dengan Taoisme Cina, berkembang
subur dan membayang-bayangi Konfusianisme. Patut diperhatikan perbedaan antara
ungkapan Buddhisme Cina dan Buddhisme di Cina. Ungkapan yang kedua menunjukkan
Buddhisme yang terkait pada tradisi India dan tidak berperan besar dalam
perkembangan filsafat Cina. Ia diwakili Aliran Idealisme Subyektif atau Xiang
Zong (atau Weishi Zong alias Aliran Vijnavada).
Sedangkan
ungkapan yang pertama adalah bentuk Buddhisme yang dekat dengan pemikiran Cina.
Aliran ini diwakili oleh Aliran Jalan Tengah, atau Sanlong Zong (alias Aliran
Madhyamika). Buddhisme Aliran Jalan Tengah ini mirip dengan Taoisme Cina.
Pertemuan antara Aliran Jalan Tengah dan Taoisme Cina melahirkan Aliran Chan (di
Jepang dikenal sebagai Zen atau Dhyana).
Jadi,
Channisme adalah sintesa antara unsur-unsur Buddhisme India dengan Taoisme, dan
sebab itu dinamakan Neo-Taoisme. Di sini, Tao dibandingkan dengan Nirwana dari
ajaran Buddhisme. Para pengikutnya berusaha untuk, melalui meditasi,
mengidentifikasi budi individu dengan Budi Semesta. Jadi, lewat kegiatan
meditasi atau diam diri dicapai kesatuan antara budi individu dan Budi Semesta.
2.4 Zaman Neo-Konfusianisme (1000 M – 1900 M)
Neo-Konfusianisme
merupakan ringkasan atau revisi dari etika, moral, dan kepercayaan dari
kepercayaan masa lampau dan tetap berpegang pada semangat zaman itu.
Neo-Konfusianisme tidak sama dengan kebangkitan Konfusianisme. Memang para
penganut Neo-Kantianisme adalah sarjana-sarjana Konfusian, tapi kegiatan
intelektual mereka ditentukan oleh spekulasi-spekulasi yang berasal dari para
guru aliran Chan.
Neo-Konfusianisme
memuat prinsip-prinsip Konfusianisme dalam bentuk baru, dicampur unsur
Buddhisme. Sebagaimana halnya sintesa Buddhisme dan Taoisme menghasilkan
Channisme, maka Konfusianisme berinteraksi dengan Buddhisme dan menghasilkan
Neo-Konfusianisme (atau Li-isme).
Buddhisme
menggambarkan nirvana sebagai keadaan budi yang tenang. Konfusianisme
sebaliknya menggambarkan keadaan esensial alam semesta dan budi manusia berada
dalam aktivitas terus-menerus. Neo-Konfusianisme mengembangkan konsep tentang
"tenang yang ada dalam kegiatan konstan, dan kegiatan dalam ketenangan
konstan". Neo-Konfusianisme melukiskan ludi dengan berbagai cara,
misalnya: "Budi itu bagaikan cermin. Aneka gambar yang jatuh di
permukaannya giat tiada hentinya, tapi cermin itu tetap tenang dan tidak rusuh.
Budi itu bagaikan matahari. Awan-awan lewat dan musnah di bawahnya, tetapi
matahari itu sendiri tetap konstan dan tidak terpengaruh. Budi itu bagaikan
permukaan laut yang cukup luas. Ombak naik dan turun, tapi permukaannya tetap
tenang dan tak mengganggu. Budi itu aktif, tetapi sementara ia aktif, ia tetap
tenang. Keadaan budi yang paling tinggi dan terbaik adalah tenang sekaligus
aktif.
Buddhisme
menganggap kehidupan ini adalah laut kepahitan. Hidup itu bagaikan mimpi, tidak
nyata. Buddhisme mengembangkan filsafat tentang Dunisini. Mereka menyibukkan
diri dengan hubungan antarmanusia dan kebajikan manusia, tak peduli dengan
persoalan rumit tentang ontologi dan adikodrati.
Neo-Konfusianisme
menggabungkan kedua pandangan itu, mengakui ke-sana-an sekaligus ke-sini-an
dunia. Neo-Konfusianisme berusaha membuat yang ilahi menjadi manusiawi, dan
yang manusiawi menjadi ilahi. Sibuk dengan urusan dunia, tapi juga menggunakan
hal-hal adikodrati. Pusat filsafat Neo-Konfusianisme adalah Li (atau pikir),
yang dinamakan Tao dalam Taoisme (Sastrapratedja: 7-8; Hamersma 34).
2.5 Zaman Modern (1900 M - sekarang)
Dalam
sejarah Cina, periode Dinasti Manzhu (l644-1911) dan pemerintahan Republik
(1911) ditandai skeptisisme. Semua pranata yang sudah mapan, perkawinan,
keluarga, masyarakat, negara, hukum, dipertanyakan. Masa ini sering
dibandingkan dengan zaman Renaissance di Eropa. Pada periode ini, ada tiga
tendensi dalam filsafat Cina, yakni:
a. Pengaruh Filsafat Barat: filsafat
Barat mulai memasuki Cina, khususnya pragmatisme dari John Dewey, dan
sesudahnya Kari Marx. Hal ini disebabkan oleh diterjemahkannya karya-karya para
pemikir Barat ke dalam bahasa Cina, seperti karya Leo Tolstoi, Hendrik Ibsen,
Guy de Maupassant, Shelley, Emerson, Kari Marx dan Friedrich Engels. Semua
tokoh itu memberikan pengaruh besar bagi pembaruan kehidupan intelektual Cina.
Filsafat bergandengan tangan dengan
perkembangan politik, sosial, religius, dan artistik. Muncul para pemikir yang
menekuni studi linguistik dan kritik teks. Kuatnya pengaruh filsafat Barat itu
ditopang oleh munculnya Gerakan Kebudayaan Baru, dengan tokoh-tokohnya antara
lain Hu Shi dan Chen Duxiu. Mereka amat mengagumi Barat, menggunakan
positivisme sebagai sumber inspirasi. Tujuan yang ingin dicapai adalah membuang
Konfusionisme karena dianggap sama dengan konservatisme masa lampau yang
menghalangi gagasan-gagasan baru.
b. Kecenderungan untuk kembali
kepada filsafat pribumi.
c. Dominasi filsafat dan pemikiran
Kari Marx, Lenin, dan Mao Tse Tung sejak tahun 1950.
2.6 Ciri-Ciri Filsafat
Cina
Pertama-tama karena masalah
politik dan pemerintahan merupakan masalah sehari-hari yang tidak dapat
dihindarkan, maka filsafat Cina berkecenderungan mengutamakan pemikiran praktis
berkenaan masalah dan kehidupan sehari-hari. Dengan perkataan lain ia cenderung
mengarahkan dirinya pada persoalan-persoalan dunia. Para ahli sejarah pemikiran
mengemukakan beberapa ciri yang muncul akibat kecenderungan tersebut, Pertama,
dalam pemikiran kebanyakan orang Cina antara teori dan pelaksanaannya tidak
dapat dipisahkan. Dengan demikian pemikiran spekulatif kurang mendapat tempat
dalam tradisi filsafat Cina, sebab filsafat justru lahir karena adanya berbagai
persoalan yang muncul dari kehidupan yang aktual.
Kedua, secara umum filsafat Cina
bertolak dari semacam ‘humanisme’. Tekanannya pada persoalannya kemanusiaan
melebihi filsafat Yunani dan India. Manusia dan perilakunya dalam masyarakat
dan peristiwa-peristiwa kemanusiaan menjadi perhatian utama sebagian besar
filosof Cina.
Ketiga, dalam pemikiran filosof
Cina etika dan spiritualitas (masalah keruhanian) menyatu secara padu. Etika dianggap
sebagai intipati kehidupan manusia dan sekaligus tujuan hidupnya. Di lain hal
konsep keruhanian diungkapkan melalui perkembangan jiwa seseorang yang
menjunjung tinggi etika. Artinya spiritualitas seseorang dinilai melalui moral
dan etikanya dalam kehidupan sosial, kenegaraan dan politik. Sedangkan inti
etika dan kehidupan sosial ialah kesalehan dan kearifan.
Keempat, meskipun menekankan pada
persoalan manusia sebagai makhluk sosial, persoalan yang bersangkut paut dengan
pribadi atau individualitas tidak dikesampingkan. Namun demikian secara umum
filsafat Cina dapat diartikan sebagaoi ‘Seni hidup bermasyarakat secara bijak
dan cerdas’. Kesetaraan, persamaan dan kesederajatan manusia mendapat perhatian
besar. Menurut para filosof Cina keselerasan dalam kehidupan sosial hanya bisa
dicapai dengan menjunjung tinggi persamaan, kesetaraan dan kesederajatan itu.
Kelima, filsafat Cina secara umum
mengajarkan sikap optimistis dan demokratis. Filosof Cina pada umumnya yakin
bahwa manusia dapat mengatasi persoalan-persoalan hidupnya dengan menata
dirinya melalui berbagai kebijakan praktis serta menghargai kemanusiaan. Sikap
demokratis membuat bangsa Cina toleran terhadap pemikiran yang anekaragam dan
tidak cenderung memandang sesuatu secara hitam putih.
Keenam, agama dipandang tidak
terlalu penting dibanding kebijakan berfilsafat. Mereka menganjurkan masyarakat
mengurangi pemborosan dalam penyelenggaraan upacara keagamaan atau penghormatan
pada leluhur.
Ketujuh, penghormatan terhadap
kemanusiaan dan individu tampak dalam filsafat hukum dan politik. Pribadi
dianggap lebih tinggi nilainya dibanding aturan-aturan formal yang abstrak dari
hukum, undang-undang dan etika. Dalam memandang sesuatu tidak berdasarkan
mutlak benar dan mutlak salah, jadi berpedoman pada relativisme nilai-nilai.
Kedelapan, dilihat dari sudut
pandang intelektual, Para filosof Cina berhasil membangun etos masyarakat Cina
seperti mencintai belajar dan mendorong orang gemar melakukan penelitian
mendalam atas segala sesuatu sebelum memecahkan dan melakukan sesuatu.
Demikianlah pengetahuan dan integritas pribadi merupakan tekanan utama filsafat
Cina. Aliran pemikiran, teori dan metodologi apa saja hanya bisa mencapai
sasaran apabila dilaksanakan oleh seseorang yang memiliki pengetahuan luas dan
integratitas pribadi yang kokoh.
BAB III
PENUTUP
SIMPULAN
Dalam
membicarakan tentang filsafat Cina, ada tiga simpulan utama yang terdapat dalam
filsafat Cina, yakni:
1. Harmoni: antara manusia dan sesama,
antara manusia dan alam, antara manusia dan surga. Dihindari ekstrim, dan
dicari jalan tengah.
2. Toleransi: nampak pada keterbukaan
sikap terhadap pendapat yang berbeda. Ini memungkinkan hidupnya pluriformitas
budaya, termasuk agama.
3. Kemanusiaan: manusia merupakan pusat
pemikiran filsafat Cina. Manusia mengejar kebahagiaan di dunia dengan
mengembangkan diri dalam interaksi dengan alam dan sesama.
DAFTAR
PUSTAKA
Taniputera,
Ivan. 2013. History of China. Jakarta
: Ar-Ruzz Media.
Wiriatmadja,
Rochiati dan Dasuki dkk. 2003. Sejarah
Peradaban Cina. Bandung : Humaniora.
Gilang
Blog Hostory : Aliran Filsafat China
Tidak ada komentar:
Posting Komentar