Kamis, 11 Desember 2014

Aliran Filsafat Cina




BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Filsafat Cina sebagai suatu bagian dari tiga Filsafat yang berpengaruh di dunia selain Filsafat Barat dan Filsafat India, merupakan suatu Filsafat tersendiri dengan berbagai metode, corak, kecenderungan dan berbagai kekhususan yang dimilikinya, bahkan dengan berbagai kekurangan dan kelebihannya yang sangat nisbi.
Akan tetapi terlepas dari semua itu, Filsafat Cina merupakan suatu Filsafat yang tidak bisa di pandang sebelah mata, karena pada perkembangan dunia timur seperti Cina dan negara-negara yang terletak tidak jauh darinya, seperti Jepang, Hongkong, Korea dan negara timur lain pada masa kini, mempunyai corak, ciri khas dan juga bahkan mulai berpengaruh terhadap bangsa lain, yang pada perkembangan sejarahnya tidak dapat terlepas dari perkembangan budaya maupun keilmuan dan kefilsafatan pada masa dahulu.
Cina saat ini merupakan suatu kekuatan yang dipertimbangkan di dunia pada umumnya. Dalam berbagai aspek kehidupan mulai pendidikan, teknologi, ekonomi, kekuatan militer sampai pada life style, Cina memiliki ciri dan tren tersendiri yang tidak secara serta merta mengadopsi dari Barat seutuhnya, akan tetapi Cina dengan segala yang dimiliki mempunyai kelebihan yang patut kita ambil sisi positifnya.
                     
1.2    Rumusan Masalah
1.2.1                    Bagaimana pembagian periodisasi perkembangan filsafat di Cina?
1.2.2                    Bagaimana jenis aliran filsafat yang berkembang di Cina?
1.2.3                    Bagaimana ciri-ciri Filsafat Cina?

1.3     Tujuan
1.3.1                 Menjelaskan pembagian periodisasi perkembangan filsafat di Cina
1.3.2                  Menjelaskan jenis aliran filsafat yang berkembang di Cina
1.3.3                  Menjelaskan ciri-ciri Filsafat Cina



BAB II
PEMBAHASAN


2.1  Zaman Klasik (600 - 200 SM)
Zaman Ch’unn Chiu & Chan Kuno dikenal sebagai zaman klasik (classic age period) dari sejarah kebudayaan Cina. Kekacauan politik pada zaman Dinasti Chou itu memperlihatkan perkembangan-perkembangan dari di lapangan kebudayaan & masyarakat. Seiring dengan semakin berkurangnya jumlah negara, berkurang pula batas-batas penghalang hubungan antar penduduk. Juga seiring dengan semakin berkurangnya sifat-sifat kedaerahan, anggapan tentang paham & keyakinan baru pun mudah tersebar.
Masyarakat Dinasti Chou mulai mengenal empat golongan dalam masyarakat: golongan terpelajar (Shih); petani (Nung); pertukangan (Kung); & saudagar atau pedagang (Sang). Dalam lapisan & struktur masayarakat yang paling rendah dimasukkan para pelayan & tentara. Kaum bangsawan pada saat itu banyak yang kehilangan tanah karena dirampas setelah kalah dalam peperangan. Banyak para bangsawan yang akhirnya menjadi pengembara & petualang. Ada pua kaum terpelajar yang memberikan pengajaran di istana atau di masyarakat biasa. Kedudukan kaum bangsawan dalam masyarakat mulai diganti oleh kaum terpelajar, para pujangga, ahli-ahli filsafat, & para negarawan.
Bagian terakhir perkembangan zaman Dinasti Chou adalah disebut-sebut sebagai zaman klasik bagi perkembangan kesusteraan Cina. Pergloakan sosial & politik menimbulkan banyak masalah untuk segera dipecahkan. Keadaan Chaos itu menjadi pendorong & motivasi bagi para pemikir (filosof) untuk mengerahkan pemikirannya guna menemukan cara mengatasi krisis moral & politik yang timbul pada zaman itu. Lalu lahirlah beberapa aliran pemikiran atau filsafat bersamaan dengan perkembangan kesusteraan. Bukti nyata mengulas mengenai persoalan filsafat, sejarah, adat-istiadat, & sistem pemerintahan (teori kekuasaan). Ada sebuah kumpulan tulisan yang menjadi buku suci (The Holy Book) yang merupakan buku pegangan dalam menata hidup & pemerintahan. Saah satu yang dinilai sangat penting dari hasil sastra Cina pada zaman Dinasti Chou akhir adalah dua buku klasik yang disebut Wu Ching (Lima Buku Klasik) & Sze Shu (Empat Kitab). Kedua buku tersebut - berikut buku tafsirannya – sejak zaman Dinasti Han sampai permulaan abad dua puluh merupakan buku tuntunan bagi kaum literati birokrat.


Wu Ching (lima buku klasik) terdiri dari:
1.      Shu Ching (Kitab Sejarah – The Book of History)
2.      Shih Ching (Kitab Syair – The Book of Song)
3.      I Ching (Kitab Perubahan – The Book of Changes)
4.      Li Chi (Kitab Adat atau Upacara – The Book of Rites)
5.      Ch’unn Ch’iu (Kitab Catatan Musim Semi & Rontok – The Annals of Spring & Autumn).
Sze Shu (Empat Kitab)  terdiri dari:
1.      Lun Yu (The Annalects atau Kumpulan Percakapan Confucius) – yang terdiri dari 20 fasal – mengandung pikiran-pikiran Confucius tentang hal-hal atau buah pikiran Confucius.
2.      Meng Tze Shu (The Mencius). Buku Meng Tze ini terdiri dari tujuh buah buku yang menuturkan pendapat & tingkah laku dari Meng Tze, murid Confucius.
3.      Ha Hsueh (The Great Learning, Ajaran Besar) yang menjadi fasal tiga puluh sembilan dari buku adat (Li Chi). Buku ini membicarakan secara ringkas tentang kesusialaan & politik muridnya yang termasyhur yang bernama Tsang Tsan.
4.      Chung Yung (Doktrin of the Mean, Ajaran tentang Makna yang Tepat) yang menjadi kesusasteraan Cina. Buku ini ditulis oleh Kung Chi, seorang cucu Confucius.

2.2  Seratus Aliran Filsafat
Perkembangan di lapangan kebudayaan dalam zaman Dinasti Chou terakhir, selain ditandai oleh semakin tumbuh suburnya kebudayaan klasik, juga semakin tumbuh suburnya berbagai aliran filsafat yang berpengaruh besar terhadap pertumbuhan kebudayaan Cina selanjutnya. Karena banyaknya aliran filsafat yang tumbuh & tersebar pada bagian akhir zaman Dinasti Chou itu, muncullah satu istilah yang biasa disebut “seratus aliran ajaran filsafat”. Padahal, jumlah aliran & ajaran filsafat yang sebenarnya kurang dari seratus (kata “seratus” diartikan sebagai banyak).
Confusianisme
Diantara filsuf yang masa hidupnya banyak mengalami kekecewaan & kurang mendapat penghargaan ialah Confucius. Menurut kisah & dongeng tentang orang suci (holy man), Confucius berasal dari keturunan golongan bangsawan yang tidak mampu. Ada yang menduga bahwa ia berasal dari golongan bangsawan Dinasti Shang. Nama sebenarnya adalah Kung Chung-ni yang kemudian diberi julukan Kung Tzu (Pujangga Kung) atau disebut pula Fu Tzu (Pujangga Besar). Gelar-gelar tersebut membuat namanya lebih dikenal dengan sebutan Kung Fu Tze atau Confucius. Ia dilahirkan di negara Lu yang sekarang bernama Chu Fu (di wilayah Shantung). Menurut cerita tradisi ia hidup & tinggal menetap selama beberapa tahun di negara itu. Pada kira-kira tahun 500 SM, ia berhasil menggagalkan komplotan negara Chi’i untuk menangkap kepala negara Lu. Karena jasanya itu, ia diberi jabatan sangat prestisius oleh kaisar. Setelah itu, ia berusaha mengakhiri kekuasaan bangsawan-bangsawan di daerah-daerah & memusatkan kekuasaannya di tangan kepala negara. Tindakannya mendapat tantangan & perlawanan dari para bangsawan. Akibatnya, ia mengalami banyak kegagalan dalam melaksanakan misinya. Akhirnya, ia meninggalkan negara Lu & mengembara ke beberapa negara tetangga. Beberapa bangsawan muda yang masih ada hubungan keluarga & setia turut menyertainya. Karena perubahan politik di negara Lu yang semakin gencar & berpihak kepada pemikiran-pemikirannya, akhirnya, ia kembali lagi ke negara Lu.
Setelah berada kembali di negara Lu, ia mendidik beberapa orang muridnya menjadi Ch’un Tzu, yaitu bangsawan sejati dalam arti yang sebenarnya. Mereka bukan bangsawan karena status keturunan & darah ningrat, melainkan karena kebangsawanan hatinya. Ajarannya ditujukan kepada bentuk praktek hidup bangsawan tentang cara-cara yang tepat dalam memenuhi & menaati kaidah-kaidah kesusilaan yang berlaku. Confucius mempertahankan asas-asas masyarakat feodal yang mendasarkan ajarannya pada kesetiaan & ketaatan. Kesetiaan & ketaatan harus dilakukan anak terhadap orangtua & keluarga, pegawai terhadap kepala negara, termasuk juga kepala negara kepada raja.
Menurut cerita tradisi, Confucius menyusun kitab Shu Ching, Shih, & Chun Chiu. Disebutkan pula bahwa ia menulis ulasan-ulasan & interpretasi mengenai I Ching. Namun, adanya pendapat & anggapan bahwa ia mengetahui keberadaan & muatan kitab tersebut sangat diragukan. Kitab yang sebenarnya merupakan buah pikiran Confucius adalah Lun Yu (Percakapan Confucius dengan Para Muridnya) yang terdiri dari dua puluh pasal. Kitab tersebut baru disusun sekitar 400 SM. Di dalam kitab tersebut dimasukkan pengaruh-pengaruh yang berkembang sesudah Confucius.
Tujuan pemikiran Confucius yang sesungguhnya & paling utama adalah konsepsi tentang langkah pencapaian masyarakat yang ideal (ideal community). Ajarannya merupakan bentuk reaksi terhadap keruntuhan moral & krisis politik yang terjadi pada zamannya. Ia bercita-cita membangun & mengembangkan masyarakat ideal sebagaimana impiannya. Sesungguhnya, gagasan yang dilontarkan Confucius sudah ada sejak zaman permulaan Dinasti Chou seperti konsepsi mengenai masyarakat & pemerintahan. Orang yang dianggap & diyakini sebagai pendiri tradisi pemikiran Confucius adalah Chou Kung. Dalam hal ini Confucius hanya melanjutkan & memelihara tradisi pemikiran tersebut.
Ajaran yang disampaikan oleh Confucius disebut Confucianisme. Rakyat & masyarakat Cina menyebutnya sebagai Ju Chiau atau ajaran agama bagi kaum terpelajar. Sebenarnya, Ju Chiau bukanlah sebuah agama, melainkan hanya ajaran filsafat tentang moral walaupun ada beberapa hal yang mengandung unsur-unsur keagamaan. Kerajaan-kerajaan yang ada di Cina lama berbentuk negara patrimonial dengan raja (kaisar) sebagai bapak patriarkhal. Raja juga sebagai pendeta tertinggi dalam kebaktian kepada Hou Tin Shang-ti (Shang-ti di langit tertinggi). Ia disebut sebagai T’ien Tzu (the son of heaven atau putra langit). Konsepsi Conficianisme ketertiban hubungan sosial dibagi dalam lima hubungan yang disebut Wu Lun:
1.      Hubungan antara raja atau pemerintah & rakyat;
2.      Hubungan ayah & anak;
3.      Hubungan suami & istri;
4.      Hubungan kakak & adik;
5.      Hubungan kawan & kawan.
Pemerintahan yang baik dirumuskan oleh Confucius dalam ungkapan Chun-chun, Chen-chen, Fu-fu, Tze-tze (bila raja menjadi raja, menteri menjadi menteri, ayah menjadi ayah, & anak menjadi anak). Arti ungkapan tersebut adalah bahwa setiap unsur dari sebuah negara yang bersangkutan harus menjalankan kewajibannya dengan benar & penuh tanggung jawab. Ketertiban dalam hubungan-hubungan itu dipelihara dalam ritus yang disebut Li. Li inilah yang mengatur & menata dengan sangat cermat setiap perbuatan penting antara orang & orang lain menurut ketertiban hierarki berdasarkan prinsip patriarkhal.
Upacara mempunyai peranan yang sangat penting dalam Confucianisme di segala bidang, baik material maupun spiritual. Untuk melakukan upacara dengan tepat & tertib konsepsi Li harus dipahami dengan baik. Li itulah yang merupakan decorum atau kelakuan lahiriah sopan santun yang peraturannya sangat ketat & keras. Dalam hubungan anatarmanusia, tingkah laku atau perilaku atau sikap mental (attitude) sangat dikuasai oleh Li.
Lima prinsip dasar dari ajaran Confucianisme terdiri dari Jen (perikemanusiaan), I (kesetiaan & kebaktian), Li (decorum atau peraturan untuk kelakuan baik atau adat tata cara), Shin (kecerdasan atau pengetahuan), & Chih (kejujuran). Dalam sebuah negara yang ideal, menurut Confucius, yang dicita-citakan oleh negara itu adalah para pegawai pemerintah yang mempunyai budi luhur sangat bagus. Ia bermental, bertingkah laku, & berbuat sebagai bangsawan sejati & sebenarnya apabila kebangsawanannya bukan terbentuk karena keturunan darah, melainkan karena kemuliaan budi pekerti. Mereka yang berperilaku seperti itu disebut Ch’unn Tzu. Seorang Ch’unn Tzu harus berbakti & patuh kepada orang tua. Ia haruslah orang yang bersikap setia, cinta kepada sesama manusia, bertingkah laku patut & mahir dalam adat sopan santun. Ia juga harus cerdas & berpengetahuan.
Confucius mempunyai cita-cita sosial yang disebut Ta Tung (persamaan luhur) – sebuah utopia tentang altruisme sedunia bahwa dunia yang merupakan rumah tangga besar yang didalamnya orang-orang pandai & bijaksana (cendekiawan) bekerja sama untuk merealisasikan kesejahteraan & kasih sayang bagi segenap umat manusia. Sepeninggal Confucius, ajaran-ajarannya dikembangkan & terus disosialisasikan oleh murid-muridnya yang setia. Salah seorang muridnya yang terkemuka bernama Meng Tzu (Meng Ko). Menurut cerita tradisi, Mencius hidup antara 372-228 SM. Ia juga berasal dari negara Lu, seperti halnya Confucius. Ajaran Mencius tidak mengalami perkembangan apapun sepanjang zaman Chung Kuo karean tidak berhasil mempengaruhi kalangan yang berkuasa (elit kekuasaan) & banyak ajaran lain yang menjadi saingannya.
Pada masa Dinasti Ch’in (221-207 SM) bencana paling besar dialami oleh Confusianisme karena adanya larangan dari kaisar yang berkuasa. Sebaliknya, pada zaman Dinasti Han (206-220 SM) justru Confucianisme berkembang pesat & menjadi ideologi negara. Pada zaman Dinasti Sung, Confucianisme mengalami pembaharuan-pembaharuan yang dilakukan oleh para pemikir zaman itu seperti Chi Shi (1130-1220). Ia juga berhasil meluncurkan ajaran barunya yang disebut Neo-Confucianisme atau Confucianisme baru. Sejak zaman Dinasti Han, Confucianisme dijadikan agama negara dalam bentuk pemujaan langit. Banyak bangunan suci yang didirikan & disebut altar langit. Confucius dipuja-puja dalam kuil yang didirikan di setiap distrik di seluruh kerajaan. Dua kali dalam setahun, para pembesar daerah harus melakukan kebaktian di Kuil Confucius atas nama kaisar.



Taoisme
Taoisme ajaran filsafat terbesar, terkenal, dan termahsyur setelah Confusianisme. Pendirinya adalah Lao Tzu  (Laocius) yang artinya pujangga Lao atau pujangga tua (bukan nama aslinya karena nama aslinya tidak di ketahui). Menurut para ahli sejarah ajaran filsafat Lao Tzu baru timbul dan berkembang pada bagian akhir abad ke-4 SM. Sebuah kitab yang menurut tradisi merupakan hasil buah pikir Lao Tzu  adalah Tao Te Ching (buku klasik tentang Tao dan Te). Tetapi kitap tersebut baru tersusun sekitar abad ke-3 SM. Isi kitab tersebut sangat ringkas dan ditulis dengan bahasa yang sangat sederhana, bahkan kadang-kadang dalam bentuk sajak dan penuh dengan paradoks yang sukar dipahami.
Intisari yang diajarkan Lao Tzu bertujuan untuk memelihara harmoni antara kehidupan manusia dan hukum universal alam jagat raya (Law of Natural), yaitu Tao. Tujuan ini sama dengan tujuan Confusius, teteapi cara mencapai tujuan tersebut sangat jauh berbeda. Confusius berusaha keras mencapai tujuan itu dengan cara-cara ilmiah (sciantific manner), yaitu menyelidiki keadaan masyarakat dan memperhatikan kelakuan manusia dalam penyelidikanyan, ia menemukan lima hubungan antara manusia dan prinsip-prinsip sosial dalam rangka membina ketertiban kehidupan masyarakat. Atas dasr itu, ia merumuskan peraturan-peraturan atau kaidah – kaidah tata tertib kehidupan manusia. Ssebaliknya, Lao Tzu mendekati tujuan perjuangannya seacara langsung melalui intuisi. Cara yang kemudian ia gunakan adalah pengembangan kepekaan perasaan (sentivitas) dan emosi.atas dasar prinsip perjuangan itu, confusius dapat dianggap sebangai orang rasionalis sedangkan Lao Tzu dilukiskan sebangai seorang mistikus
Dengan jalan mistik (mistisisme), Lao Tzu Menarik langkah penyatuan (unifikasi) Tao. Ajarannya yang memfokoskan pada spiritualitas ini mendapatkan respon dan tempat di kalangan orang-orang merasa kecewa terhadap kehidupan yang mereka jalani di masyarakat. Mereka merasa bosan dan jenuh terhadap akses-akses kebendaan duniawi (materialistis-hedonis). Sebangai reaksinya, mereka mencari kesunyian dan keheningan dengan cara mengasingkan diri dan hidup sebagai seorang pertapa (meditasi). Para mistikus yang berhasil mencapai penyatuan dengan Tao akan mersakan timbulnya kesadaran diri (self-counsciousness) yang tidak mengenal kontradiksi-kontradiksi. Di kalangan orang-orang yang demikian itu, Lao Tzu berhasil memunculkan kitabnya yang terkemuka Tao Te Ching. Dengan kekuatan mistik, mereka mengadakan pernungan tentang penyatuan diri dengan Tao. Sebangai kritalisasi dari renungan itu, doktrin Wu Wei- artinya berbuat untuk segalanya tanpa perlu berbuat apa-apa pun lahir. Agaknya, doktrin tersebut sangat paradoksal. Maksud yang sebenarnya dari doktrin itu adalah bahwa segala sesuatu akan berjalan teratur sesuai dengan kodrat dirinya asal tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan Tao.
Menurut anggapan Lao Tzu, apabila doktrin Wu Wei di praktekkan dengan benar dan tepat dalam kekusaan dan pemerintahan, keadaan ideal dalam kehidupan masyarakat akan tercipta. Setiap orang akan berbuat dengan sifatnya sendiri yang sewajarnya. Tidak ada gunanya mengdakan pengekangan melalui rumusan peraturan dan perundang-undangan yang di buat-buat. Dalam Tao Te Ching, antara lain, dikatakan bahwa senakin banyak undang-undang dan larangan yang di tetap kan akan semakin banyak pencuri yang berkeliaran. Cara yangdi tempuh doktrin Wu Wei dalam pemerintahan oleh orang-orang yang bijaksana adalah mencukupi sandang, papan, dan pangan rakyat, membuat mereka sehat dan kuat, serta menciptakan suasanan hati mereka yang selalu merasa paus dan tenang dan tenang sehingga tidak ada orang yang mempunyai keinginan jahat.
Confusianisme dan Taoisme harus dianggap sebangai ajaran pertama yang memahami pengertian Tao yang diambil dari agama pada dinasti chou. Agama pada saat itu bersifat astral, meskipaun memiliki interpretasi yang berbeda-beda. Tao merupakan sesuatu kekuatan yang mengatur ketertiban dalam kosmos. Menurut pandangan Confusius, Tao juga mengatur masyarakat yang dengannya memberi dasar-dasar tentang kesusilaan kepada masyarakat. Dalm hal ini, ada Tao yang bersemayang di langit dan ada pula yang berada di antara manusia. Para penganut Confusianisme memusatkan perhatian kepada Li  sebangai pewujudan Tao. Li dijadikan perangkat aturan-aturan untuk menyusun mastarakat yang sifatnya konkret dan duniawi. Confusius semata-mata hanya memusatkan pikirannya pada masyarakat yang dilihatnya secara idialistis, yaitu masyarakat yang di proyeksikan pada masa silam dalam keadaan yang ideal.
Anggapan Confusius dan Lao Tzu  tentang Taoisme juga berbeda-beda. Tao merupakan kekuatan pengatur dan pencipta yang bekerja menurut prinsip Yang dan Yin. Semua benda, berikut perubahan-perubahan yang terus terjadi dan tidak akan pernah habis, dihasilkan oleh saksi Yang dan Yin. Jadi, dapat dikatakan bahwa Taoisme, menurut Canfusianisme, merupakan pandangan dunia yang pasti yang berlawanan dengan  pandangan dunia  yang statis. Sesuatu yang tetap ada hanyalah Tao, sedangkan sesuatu yang lain hanyalah khayalan karna selalu berubah-ubah. Karna itu, satu-satunya yang daan manpat dilakukan manusia adalah menyerah kepada Tao yang dengan sendirinya ia bergerak tanpa tujuan dan tanpa paksaan. Tao adalah sebuah harmoni yang sempurna sehingga untuk dapat mengenal dan menyesuaikan diri dengannya, seorang harus memilki Te lebih dulu. Ia berbeda dengan anggapan-anggapan Confusinisme karna Te buka tuah yang turun dari Tao kepada manusia, melainkan sesuatu yang dapat dimiliki oleh setiap orang yang berbuat sesuia dengan kehendak Tao. Sikap yang sesuai dengan Tao adalah sikap Wu Wei, cara berbuat dengan segala-galanya tanpa berbuat apa-apa. Di dalam Confusianisme, perhatian utama dipusatkan padahubngan antar manusia dan manusia lainnya dalam kehidupan masyrakat damai.
Mohisme
Tidak lama setelah Confusius meninggal, lahirlah seorang ahli pikir bernama Moti atau Mo Tzu. Ajarannya disebut Mohisme. Ia hidup kira-kira 479-381 SM. Pemikir ulung ini berasal dari negara Lu. Segala aspek yang berkenaann dengan kehidupannya tidak dapat diketahui dengan pasti. Keterangan tentang ajarannya hanya di perolah dari bukunya yang terkenal berjudul Mo Tzu. Di dalam ajarannya itu ia mempunyai pandangan yang sangat revolusioner, terutama mengenai susunan masyarakat. Ia juga menentang perbedaan yang tajam dalam kehidupan bermasyarakat seperti yang terdapat dalam susunan masyarakat feodal. Atas dasar itu, dapat di katakan bahwa ajaran Mohisme yang revolusioner sangat kontradiktif  dengan ajaran Confucius yang konservatif.
Ia berkeinginan untuk mengubah susunan masyarakat, menghapus perbedaaan-perbedaan asasi antar golongan, dan mengganti prinsip-prinsip yang fundumental. Sebaliknya ajaran Confusius justru mempertahankan masyarakat feodal dan berusaha keras untuk menyelamatkannya. Ajaran Confusius berusaha menyelamatkan format masyarakat feodal karna mereka menghawatirkan pengaruh ajaran Mo Tzu pada masanya jauh lebih besar dari pada Confusius.
Mo Tzu juga mengajarkan prinsip-prinsip yang di ambil dari konsep Yen dan Li. Ia juga memakai konsepsi ajaran Tao yang di maknakan sebangai sifat kepribadian dari sang pencipta. Yen dan Lidi akui sebangai dasar sebuah fomat masyarakat. Tetapi pemikirannya selngkah lebih maju. Persoalan isu-isu perikemanusian dikupasnya menjadi jalinan cinta kasih umum di antara sesama manusia dengan kupasan yang sangat baik. Di dalam kupasan itu, ia lebih sering menyebut Sang Ti dari pada T’ien - mungkin yang dimaksud adalah Tuhan. Ia mengajarkan bahwa Tuhan mencintai sesama manusia tanpa perbedaan. Semua manusia sama dan harus saling menyayangi. Ajarannya mempunyai ciri dan sifat sosialis yang sangat dalam. Ia juga menganut utilitarianisme, sebuah teori mengenai prinsip kegunaan. Ia mencela keborosan dan sangat menentang peperangan untuk membela diri (defensif).
Mo Tzu mengajarkan kesederhanaan dan kesehajaan hidup seperti para pertapa. Ia menegaskan tentang makna penting sikap disiplin yang sangat keras dan hidup sederhana, hemet, cermat, serta patuh kepada pemimpin. Mohisme menulak segala kesenangan ynag mewah (hedonistis). Berbeda denga Confusianime, ajaran Mo Tzu mempunyai susunan ajaran yang sangat logis-rasional, semacam ilmu logika. Dari zaman tersebarnya Mohisme berikut prinsip-prinsip logikanya yang sedikit banyak di pengaruhi oleh permainan yang berprinsip pada paradoks-paradoks ajaran Lao Tzu, pada bagian rerakhir abad ke-4 SM dan pertengahan abad ke-3 SM berkembanglah ajaran Sophisme.
Sophisme
Mo Tzu (Mo Ti) telah memberikan sumbangan pemikiran filsafat yang sofistik terhadap sejarah dan peradapan cina. Kontribusi pemikiran itu berupa sistematika logika yang disusun dalam bentuk cara berdiskusi yang sangat teratur. Pada kira-kira abad ke-4, tepatnya semasa munculnya Chuang Tzu, berkembang pula cara diskusi yang sistematis dan bertaraf tinggi. Kelompok para pemikir yang melakukan diskusi itu disebut kaum Sophis atau dialektrisian. Para pengikut mereka sangat banyak dan tersebar luas, terutama di negara Chi dan Wei. Cara mereka berfikir dan mensistematikannya sangat penting bagi perkembangan pemikir filsafat Cina, dan juga sangat mempengaruhi para pemikir yang hidup pada abad ke-3, antara lain, Meng Tzu dan Hsun Tzu.
Sayang ajaran-ajaran yang dikembangkan kaum Sophis sangat sedikit yang dapat diketahui, ini terjadi karena munculnya kekacauan dan kerusuhan yang luar biasa pada zaman Dinasti Chou. Agaknya keterbatasan mengkodifikasi ajaran-ajaran kaum Sophis di alami oleh para penganut ajaran itu karena mereka banyak mengalami kesulitan hidup. Puncaknya adalah setelah Confusianisme pada zaman dinasti Han mencapai kemajuan, pemikiran Sophisme tidak terpelihara lagi sesuatu yang sebenarnya sangat merugikan bagi perkembangan filsafat Cina.
Individualisme
Selain para pemikir dan cendekiawan yang terus berusaha meneliti dan mencari jalan bagi upaya penyelamatan kehidupan masyarakat, ternyata ada juga pemikir yang bersikap individualistik dan egoistis. Seorang individualis yang sangat ekstrim, antara lain, Yang Chu. Ia hidup pada abad-4 SM. Ajaran-ajarannya hanya dapat diketahui dari pemberitaan lawan-lawannya. Ia adalah pemikir yang pesimistis dan cendrung tertarik pada paham sinisme. Ia sangat egoisentris, dan sama sekali tidak menghiraukan segala macam kegiatan orang lain.
Egoisme menjadi dasar bagi ajaran kaum Individulis yang diajarkan oleh pemikir sebangai puncak kebajikan atau kebajikan yang terpenting. Konsepsi kaum Individulis tentang hubungan antar sesama yang menyatakan bahwa seseorang harus mengutamakan kepentingan sendiri sangat kontradiktif dengan kebanyakan pemikiran sebelumnya. Bila dipandang secara kontektual, sikap seperti itu tidak mengherankan pada zaman yang sekarang sedang di landa kekacauan, peperangan, dan tindak anarki. Sebanarnya, kalau mereka menyadari, tindakan seperti itu hanya menimbulkan kesengsaraan dan keputus asaan yang tidak henti. Ucapan kaum Individualis yang sangat mashur adalah bahwa “ jika dunia ini dapat diselamatkan atau dihancurkan hanya dengan pemengang sehelai rambut kepala atau dengan mengerakkan salah satu jari tangannya, ia tidak akan melakukannya” ia tidak akan pernah pedulu apakah sebuah masyarakat menjadi baik ataukan tidak, kacau ataupun hancur, hanya kepentingn pribadilah yang harus diperhatikan.
Bagi mereka, kejahatan dan kebaikan, pahala dan dosa, merupakan kata-kata kosong. Karena ajrannya yang sangat bertentangan dengan para pemikir lain itulah hanya sedikit karangan yang ditinggalkannya.
Legalisme
Filsafat yang tergolong sangat penting dalam perkembangan menuju terbentuknya negara kesatuan Cina adalah ajaran filsafat penganut paham Fa Chia. Kaum Fa Chia lazim disebut kaum legalis, Fa artinya Undang-undang atau hukum. Jadi, Fa Chia sama dengan legalitas atau ajaran menurut undang-undang, sedangkan pahamnya disebut legalisme. Ajaran ini berkembang pada abad ke- 4 dan 3 SM. Sebenarnya, kaum legalis berpandangan sangat realistis kerena para penganut kelompok ini terdiri dari para politikum praktis. Mereka juga penganut ulitarianisme, tetapi telah meninggalkan tradisi-tradisi kolot tempo dulu yang konservatif. Ajaran mereka lebih merupakan kontradiksi-kontradiksi kolot yang konservatif. Ajaran mereka lebih merupakan kontrarevolusi karena mereka membela para penguasa negara terhadap tuntutan-tuntutan yang semakin kuat bahwa pemerintah harus berpihak pada kepentingan rakyat, bukan untuk menindas rakyatnya sendiri. mereka menegaskan bahwa mereka akan mengadakan pembaharuan yang radikal dan memproklamasikan doktrin baru untuk zaman baru (new age).
Kalau mau ditelusuri, sebenarnya, ajaran Fa Chia itu tidak jelas pendirinya siapa. Ajaran terebut merupakan campuran dari berbagai aliran pemikiran dengan cara mengambil pokok-pokok tertentu yang dianggap berguna dan praktis. Menurut tradisi sejarah Cina, ajaran Fa Chia ini dikembangkan oleh Kuang Chung salah seorang menteri dari negara Chi pada abad ke-7 SM. Pokok-pokok ajaran Fa Chia di ambil dari Taoisme. Menurut konsepsi ajaran Fa Chia, cara paling tepat untuk memerintah adalah menerapkan konsepsi Wu Wei. Tatapi, dalam keadaan Chaos seperti itu, konsepsi Wu Wei tidak mungkin di laksanakan. Karena itu, langkah pertama untuk melaksanakan konsepsi Wu Wei adalah pencarian langkah pendaya-upayaan agar rakyat terbiasa melaksanakan sesuatu berdasarkan tata tertib dan sikap disiplin. Langkah yang dimaksud 8 (delapan) metode, Yen, I, musik, nama-nama, undang-undang, hukuman, ganjaran, dan Li.
Di dalam ajaran dan konsepsi legalisme juga terdapat pengaruh-pengaruh yang tidak sedikit dari ajaran Confucianisme, Mohisme, dan Sophisme. Atas dasar bukti demikian dapat dikatan bahwa tidak ada seorangpun pendiri sebuah paham dan tidak ada satu ajaran pun yang betul-betul murni dan terbebas dari ajaran lainnya, termasuk ajaran dan paham legalisme. Dalam berbagai karangan para pemikir sebelumnya terbukti bahwa pemikir itu mengambil objek (pokok) ajaran tertentu, khususnya tentang hukum tingkah laku manusia, mensintesiskan dengan ajaran lain, dan mengambil konklusinya hukum bagi sistem dan struktur pemerintahan yang praktis, lalu disusunlah undang-undang (legislasi). Penyusunana undang-undang dan peraturan dalam rangka memlihara ketertiban dalam kehidupan bernegara ketika rakyat sebuah negara berkecendrungan pada pelanggaran hukum. Bagi kaum legalis, undang-undang merupakan alat untuk menegakkan kekuasaan penguasa, bukan untuk melindungi kepentingan warga negara sebangai mana paham demokrasi. Salah seorang legalis yang terkenal adalah Shang Yang. Ia disebut juga dengan nama Wei Yang atau Kung Sun Yang, pandangannya tentang politik totalitarisme, serta penggunaan cara-cara yang mengikuti pendapat dan paham machiavilisme. Paham itu berkecendrungan menghalalkan semua cara untuk mencapai dan mewujudkan tujuannya. Tindak kekerasan atau anarkisme merupakan salah satu ciri dalam sistem pemerintahan menurut paham legalisme.cara yang lazim dipakai dalam mengurus pemerintahan adalah Pa Tao. Shang Yang-yang berasal dari negaara Wei dan mendapat jabatan dalam pemerintahan dinsti Chin sebangai perdana mentri (361-86 SM) melakukan program reorganisasi. Berdasarkan program itu, ia menyususun dinasti Chin menjadi sebuah negara militer (military state) denag disiplin yang sangat keras dan ketat. Sistem pemerintahan feodalisme yang selama ini di pertahankan segera dihapuskannya, dan di gantikan oleh sistem sentralisasi negara yang dilakukan melalui organisasi birokkrasi kepegawaian. Legalis yang termahsyur adalah Han, Fei Tzu dan Li Tzu. Kedua tokoh legalis sejati–yang pernahmenjadi murit Hsuan Tzu- ini hidup pada abd ke-3 SM. Hsuan Tzu beranggapan bahwa pada dasarnya bakat manusia adalah jahat tetapi, Han Fei Tzu dan Li Tzu menulak teori yang di kemukakkan gurunya, dan sebaliknya mereka mengatakan bahwa pribadi manusia dapat diluruskan dan di sempurnakan dengan perdaban melalui aturan dan hukum yang keras. Mereka hanya berpengang pada anggapan bahwa manusia pada dasrnya jahat dan akan sia-sia memperbaiki masyarakat dengan propaganda doktrin yang idealistis. Han Fei Tzu adalah seorang pemikir legalistis yang tangkas-cerdas. Ia berasal dari negara Han dan masih memiliki hubungan keluarga dengan kepala negaranya.
Suatu ketika, Dinasti Chin membuat rencana utuk merampas kekuasaan Dinasti Han. Saat itu, perdana mentri dinasti Han adalah Li Tzu. Han Fei Tzu diutus ke wilayah Chin untuk membela keselamatan negaranya. Ketika berdiskusi dengan bekas teman seperguruannya, Han Fei Tzu sangat terkesan kepada raja Chin sehingga raja Chin merasa bimbang untuk menuruti nasihat Li Tzu agar Han Fei Tzu dibunuh. Dalam kebimbangan itu, Raja Chin ahirnya mengambil keputusan memnjarakan Han Fei Tzu saja. Di dalam penjara, Han Fei Tzu justru bunuh diri setelah difitnah Li Tzu dan ditakut-takuti bahwa ia akan disiksa oleh kaisar. Ia meninggal pada tahun 233 SM.
Dengan bantuan Li Tzu, Raja Chin berhasil mengadakan unifikasi seluruh wilayah Cina pada tahun 221 SM. Kaisar pertama yang menguasai seluruh wilayah Cina adalah Chin Shih Huang Ti (221-209). Pada masa dinasti Chin itulah, semua ajaran filsafat dilarang untuk disebarluaskan ke pulblik, kecuali legalisme yang kemudian menjadi idiologi negara. Kendatipun demikian, prinsip-prinsip legalisme masih berpengaruh dalam tat cara pemerintahan dan dipakai terus dalam konsepsi Confusianisme.
Dr. Hu Shih menulis bahwa Lao Tze, Kung Tze, dan Mo Tiadalah orang-orang yang menjadi peletak dasar bagi ilmu filsafat Cina. Ia menemukan Lao Tzesebangai pemberontak dalam keyakinan agama. Ia juga revolusioner radikal dalam persoalan filsafat. Kung Tza disebut-sebut sebangai seorang humanis dan agnostikus, sedangkan Mo Ti disebut-sebut sebangai seorang pemimpin agama yang berusaha memperbaiki agama dan membersihkannya (purifikasi).

2.3 Zaman Neo-Taoisme dan Buddhisme (200 SM - 1000 M)
               Pada abad 3 SM hingga tahun 1000 Masehi, Cina disusupi oleh unsur-unsur kebudayaan asing. Buddhisme dari India, setelah bercampur dengan Taoisme Cina, berkembang subur dan membayang-bayangi Konfusianisme. Patut diperhatikan perbedaan antara ungkapan Buddhisme Cina dan Buddhisme di Cina. Ungkapan yang kedua menunjukkan Buddhisme yang terkait pada tradisi India dan tidak berperan besar dalam perkembangan filsafat Cina. Ia diwakili Aliran Idealisme Subyektif atau Xiang Zong (atau Weishi Zong alias Aliran Vijnavada).
               Sedangkan ungkapan yang pertama adalah bentuk Buddhisme yang dekat dengan pemikiran Cina. Aliran ini diwakili oleh Aliran Jalan Tengah, atau Sanlong Zong (alias Aliran Madhyamika). Buddhisme Aliran Jalan Tengah ini mirip dengan Taoisme Cina. Pertemuan antara Aliran Jalan Tengah dan Taoisme Cina melahirkan Aliran Chan (di Jepang dikenal sebagai Zen atau Dhyana).
               Jadi, Channisme adalah sintesa antara unsur-unsur Buddhisme India dengan Taoisme, dan sebab itu dinamakan Neo-Taoisme. Di sini, Tao dibandingkan dengan Nirwana dari ajaran Buddhisme. Para pengikutnya berusaha untuk, melalui meditasi, mengidentifikasi budi individu dengan Budi Semesta. Jadi, lewat kegiatan meditasi atau diam diri dicapai kesatuan antara budi individu dan Budi Semesta.

2.4 Zaman Neo-Konfusianisme (1000 M – 1900 M)
               Neo-Konfusianisme merupakan ringkasan atau revisi dari etika, moral, dan kepercayaan dari kepercayaan masa lampau dan tetap berpegang pada semangat zaman itu. Neo-Konfusianisme tidak sama dengan kebangkitan Konfusianisme. Memang para penganut Neo-Kantianisme adalah sarjana-sarjana Konfusian, tapi kegiatan intelektual mereka ditentukan oleh spekulasi-spekulasi yang berasal dari para guru aliran Chan.
               Neo-Konfusianisme memuat prinsip-prinsip Konfusianisme dalam bentuk baru, dicampur unsur Buddhisme. Sebagaimana halnya sintesa Buddhisme dan Taoisme menghasilkan Channisme, maka Konfusianisme berinteraksi dengan Buddhisme dan menghasilkan Neo-Konfusianisme (atau Li-isme).
               Buddhisme menggambarkan nirvana sebagai keadaan budi yang tenang. Konfusianisme sebaliknya menggambarkan keadaan esensial alam semesta dan budi manusia berada dalam aktivitas terus-menerus. Neo-Konfusianisme mengembangkan konsep tentang "tenang yang ada dalam kegiatan konstan, dan kegiatan dalam ketenangan konstan". Neo-Konfusianisme melukiskan ludi dengan berbagai cara, misalnya: "Budi itu bagaikan cermin. Aneka gambar yang jatuh di permukaannya giat tiada hentinya, tapi cermin itu tetap tenang dan tidak rusuh. Budi itu bagaikan matahari. Awan-awan lewat dan musnah di bawahnya, tetapi matahari itu sendiri tetap konstan dan tidak terpengaruh. Budi itu bagaikan permukaan laut yang cukup luas. Ombak naik dan turun, tapi permukaannya tetap tenang dan tak mengganggu. Budi itu aktif, tetapi sementara ia aktif, ia tetap tenang. Keadaan budi yang paling tinggi dan terbaik adalah tenang sekaligus aktif.
               Buddhisme menganggap kehidupan ini adalah laut kepahitan. Hidup itu bagaikan mimpi, tidak nyata. Buddhisme mengembangkan filsafat tentang Dunisini. Mereka menyibukkan diri dengan hubungan antarmanusia dan kebajikan manusia, tak peduli dengan persoalan rumit tentang ontologi dan adikodrati.
               Neo-Konfusianisme menggabungkan kedua pandangan itu, mengakui ke-sana-an sekaligus ke-sini-an dunia. Neo-Konfusianisme berusaha membuat yang ilahi menjadi manusiawi, dan yang manusiawi menjadi ilahi. Sibuk dengan urusan dunia, tapi juga menggunakan hal-hal adikodrati. Pusat filsafat Neo-Konfusianisme adalah Li (atau pikir), yang dinamakan Tao dalam Taoisme (Sastrapratedja: 7-8; Hamersma 34).

2.5 Zaman Modern (1900 M - sekarang)
               Dalam sejarah Cina, periode Dinasti Manzhu (l644-1911) dan pemerintahan Republik (1911) ditandai skeptisisme. Semua pranata yang sudah mapan, perkawinan, keluarga, masyarakat, negara, hukum, dipertanyakan. Masa ini sering dibandingkan dengan zaman Renaissance di Eropa. Pada periode ini, ada tiga tendensi dalam filsafat Cina, yakni:
a. Pengaruh Filsafat Barat: filsafat Barat mulai memasuki Cina, khususnya pragmatisme dari John Dewey, dan sesudahnya Kari Marx. Hal ini disebabkan oleh diterjemahkannya karya-karya para pemikir Barat ke dalam bahasa Cina, seperti karya Leo Tolstoi, Hendrik Ibsen, Guy de Maupassant, Shelley, Emerson, Kari Marx dan Friedrich Engels. Semua tokoh itu memberikan pengaruh besar bagi pembaruan kehidupan intelektual Cina.
Filsafat bergandengan tangan dengan perkembangan politik, sosial, religius, dan artistik. Muncul para pemikir yang menekuni studi linguistik dan kritik teks. Kuatnya pengaruh filsafat Barat itu ditopang oleh munculnya Gerakan Kebudayaan Baru, dengan tokoh-tokohnya antara lain Hu Shi dan Chen Duxiu. Mereka amat mengagumi Barat, menggunakan positivisme sebagai sumber inspirasi. Tujuan yang ingin dicapai adalah membuang Konfusionisme karena dianggap sama dengan konservatisme masa lampau yang menghalangi gagasan-gagasan baru.
b. Kecenderungan untuk kembali kepada filsafat pribumi.
c. Dominasi filsafat dan pemikiran Kari Marx, Lenin, dan Mao Tse Tung sejak tahun 1950.





2.6 Ciri-Ciri Filsafat Cina
               Pertama-tama karena masalah politik dan pemerintahan merupakan masalah sehari-hari yang tidak dapat dihindarkan, maka filsafat Cina berkecenderungan mengutamakan pemikiran praktis berkenaan masalah dan kehidupan sehari-hari. Dengan perkataan lain ia cenderung mengarahkan dirinya pada persoalan-persoalan dunia. Para ahli sejarah pemikiran mengemukakan beberapa ciri yang muncul akibat kecenderungan tersebut, Pertama, dalam pemikiran kebanyakan orang Cina antara teori dan pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan. Dengan demikian pemikiran spekulatif kurang mendapat tempat dalam tradisi filsafat Cina, sebab filsafat justru lahir karena adanya berbagai persoalan yang muncul dari kehidupan yang aktual.
               Kedua, secara umum filsafat Cina bertolak dari semacam ‘humanisme’. Tekanannya pada persoalannya kemanusiaan melebihi filsafat Yunani dan India. Manusia dan perilakunya dalam masyarakat dan peristiwa-peristiwa kemanusiaan menjadi perhatian utama sebagian besar filosof Cina.
               Ketiga, dalam pemikiran filosof Cina etika dan spiritualitas (masalah keruhanian) menyatu secara padu. Etika dianggap sebagai intipati kehidupan manusia dan sekaligus tujuan hidupnya. Di lain hal konsep keruhanian diungkapkan melalui perkembangan jiwa seseorang yang menjunjung tinggi etika. Artinya spiritualitas seseorang dinilai melalui moral dan etikanya dalam kehidupan sosial, kenegaraan dan politik. Sedangkan inti etika dan kehidupan sosial ialah kesalehan dan kearifan.
               Keempat, meskipun menekankan pada persoalan manusia sebagai makhluk sosial, persoalan yang bersangkut paut dengan pribadi atau individualitas tidak dikesampingkan. Namun demikian secara umum filsafat Cina dapat diartikan sebagaoi ‘Seni hidup bermasyarakat secara bijak dan cerdas’. Kesetaraan, persamaan dan kesederajatan manusia mendapat perhatian besar. Menurut para filosof Cina keselerasan dalam kehidupan sosial hanya bisa dicapai dengan menjunjung tinggi persamaan, kesetaraan dan kesederajatan itu.
               Kelima, filsafat Cina secara umum mengajarkan sikap optimistis dan demokratis. Filosof Cina pada umumnya yakin bahwa manusia dapat mengatasi persoalan-persoalan hidupnya dengan menata dirinya melalui berbagai kebijakan praktis serta menghargai kemanusiaan. Sikap demokratis membuat bangsa Cina toleran terhadap pemikiran yang anekaragam dan tidak cenderung memandang sesuatu secara hitam putih.
               Keenam, agama dipandang tidak terlalu penting dibanding kebijakan berfilsafat. Mereka menganjurkan masyarakat mengurangi pemborosan dalam penyelenggaraan upacara keagamaan atau penghormatan pada leluhur.
               Ketujuh, penghormatan terhadap kemanusiaan dan individu tampak dalam filsafat hukum dan politik. Pribadi dianggap lebih tinggi nilainya dibanding aturan-aturan formal yang abstrak dari hukum, undang-undang dan etika. Dalam memandang sesuatu tidak berdasarkan mutlak benar dan mutlak salah, jadi berpedoman pada relativisme nilai-nilai.
               Kedelapan, dilihat dari sudut pandang intelektual, Para filosof Cina berhasil membangun etos masyarakat Cina seperti mencintai belajar dan mendorong orang gemar melakukan penelitian mendalam atas segala sesuatu sebelum memecahkan dan melakukan sesuatu. Demikianlah pengetahuan dan integritas pribadi merupakan tekanan utama filsafat Cina. Aliran pemikiran, teori dan metodologi apa saja hanya bisa mencapai sasaran apabila dilaksanakan oleh seseorang yang memiliki pengetahuan luas dan integratitas pribadi yang kokoh.





















BAB III
PENUTUP


SIMPULAN

               Dalam membicarakan tentang filsafat Cina, ada tiga simpulan utama yang terdapat dalam filsafat Cina, yakni:
1.      Harmoni: antara manusia dan sesama, antara manusia dan alam, antara manusia dan surga. Dihindari ekstrim, dan dicari jalan tengah.
2.      Toleransi: nampak pada keterbukaan sikap terhadap pendapat yang berbeda. Ini memungkinkan hidupnya pluriformitas budaya, termasuk agama.
3.      Kemanusiaan: manusia merupakan pusat pemikiran filsafat Cina. Manusia mengejar kebahagiaan di dunia dengan mengembangkan diri dalam interaksi dengan alam dan sesama.















DAFTAR PUSTAKA


Taniputera, Ivan. 2013. History of China. Jakarta : Ar-Ruzz Media.
Wiriatmadja, Rochiati dan Dasuki dkk. 2003. Sejarah Peradaban Cina.                    Bandung : Humaniora.
Gilang Blog Hostory : Aliran Filsafat China

Filsafat Cina : The Origins of Chinese Philosophy by Chung Ying Cheng


Tidak ada komentar:

Posting Komentar